Sabtu, 15 Maret 2014 1:30PM
Siang ini, titik-titik air
berjatuhan membasahi daratan bumi Lancang Kuning. Ya, inilah momen yang ada di dalam doa
beribu-ribu warga Riau beberapa minggu belakangan. Asap tebal yang mengepung
sejak beberapa minggu terakhir menjadikan hujan kali ini terasa begitu
bermakna. Ribuan warga Riau pasti mengucap syukur kepada Allah SWT atas
nikmat-Nya ini. Tadi malam pun turun hujan dan itulah hujan pertama setelah
sekian lama tanah ini tak diguyur hujan. Alhamdulillah.
Gue sendiri merasa hujan siang
ini begitu emosional. Gak tau deh gue-nya yang lebay, tapi ada perasaan yang
luar biasa yang gue rasakan. Allah selalu mendengarkan doa hamba-Nya. Beberapa
hari terakhir, sejak kampus diliburkan (yang artinya asap benar-benar sudah
berbahaya) ada rasa kesal, marah, dan kecewa terhadap pemerintah yang seolah
tidak peduli. Apalagi sang gubernur baru bilang, kita berserah kepada Allah.
Memang, kita seharusnya berserah diri kepada Allah. Tapi, bukannya itu
dilakukan berbarengan dengan usaha yang maksimal. Apalagi melihat kondisi warga
Riau, yang puluhan ribu menderita ISPA, iritasi mata dan kulit dan sampai ada
korban nyawa. Haruskah pemerintah menunggu kematian massal di Riau baru
menanganinya?
Tapi, ternyata bapak Presiden
peduli. Hari ini Pak Presiden dijadwalkan terbang ke Pekanbaru,
setelah sebelumnya menginstruksikan berbagai hal mengenai penanganan asap.
Kemarin gue baca, sekian ton garam sudah disebar di langit Riau dan di akun twitter
@Sutopo_BNPB juga dijelaskan bahwa banyak helikopter yang sudah dan sedang
dikerahkan untuk mengangkut air dan NaCl. Terbayang berapa besar biaya yang
dibutuhkan oleh BNPB/pemerintah untuk mengatasi bencana ini.
Perhatian gue untuk bencana asap
kali ini adalah, kinerja pemerintah daerah dalam menangani dan mencegah
pembakaran hutan dan lahan di Riau. This
is not the first time. Udah sering bencana asap di Riau. Bahkan udah jadi
bencana tahunan. Warga Riau butuh hukum yang tegas untuk menjerat para pelaku
pembakaran lahan dan hutan seberat-beratnya. Ini bukan tentang satu atau dua
nyawa manusia, tapi nyawa seluruh warga Riau. Mungkin mereka tidak membunuh
secara langsung, tapi bukankah pembakaran itu berarti merampas oksigen dan
udara sehat warga Riau?
Well, para pembakar lahan dan hutan memang salah. Mereka pasti
dapat ganjaran yang setimpal. Bukan hanya di dunia, tapi ada Allah yang akan
membalas perbuatan mereka. Bencana asap kali ini, semoga menjadi renungan dan
peringatan juga bagi kita, warga Riau. Tidak ada gunung meletus, gempa bumi ataupun
banjir bukan berarti Allah tidak menimpakan bencana kepada kita. Maka, jangan
sombong dan teruslah bersyukur kepada nikmat yang Allah berikan. Kita tidak
akan pernah menyadari betapa berharganya setiap partikel oksigen sampai kita
kekurangan oksigen itu sendiri. Kita juga tidak akan pernah menyadari betapa
berharganya hujan sampai kemarau dan asap datang menghampiri.
Semoga ini jadi bencana asap yang
terakhir kali di Riau. Pemerintah daerah harus maksimal dalam pencegahan
pembakaran lahan dan hutan. Untuk warga Riau, mari introspeksi diri.